Saat ini sebenarnya sudah semakin sulit melihat teknologi informasi secara terpisah dari organisasi sosial. Dalam bidang perpustakaan dan informasi, teknologi dan organisasi sosial seolah-olah adalah satu. Kalau bicara ‘perpustaaan’, pasti -haqul yaqin!- kita bicara teknologi dan organisasi (ingat, buku adalah teknologi juga!). Kalau bicara komputer untuk sistem informasi, maka hampir tak mungkin -mustahil- membicarakannya hanya sebagai mesin. Dengan kata lain, saat sini sebenarnya sudah sulit mengabaikan sisi pandang pandang sosio-teknis (socio technical view points). Dalam penelitian ilmu perpustakaan dan informasi, pandangan ini sebenarnya sudah lama hadir, walau masih seperti malu-malu kucing karena kalah pamor dibandingkan pendekatan teknis-prosedural dan metode-metode positivistis.
Menurut Mumford (1999) pandangan sosio-teknis tidak dapat dilepaskan dari kajian-kajian tentang situasi di tempat kerja (work study) yang sudah berkembang sebelum ada penggunaan komputer dalam organisasi. Pada awalnya, kajian tentang kerja ini bertujuan untuk mencapai efisiensi dan rasionalisasi dalam kerangka industri yang bersifat massal (misalnya, pabrik kain tenun, industri elektronika, pabrik makanan). Di masa lampau, kajian tentang kerja ini berkonsentrasi pada penggunaan mesin seefisien mungkin, dan akhirnya seringkali terlalu ‘memihak’ kepada pemilik industri. Lalu, ketika para pekerja mulai mengeluh tentang situasi kerja, kajian menjadi lebih serius memperhatikan aspek manusia, sehingga yang muncul adalah kajian psikologi industri yang laris di tahun-tahun 60an. Ketika pabrik-pabrik mulai menggunakan teknologi komputer di tahun 1970an, para pekerja masih tetap secara hastawi (manual) melakukan kegiatan pemasukan (input) yang rutin dan membosankan. Ketika teknologi semakin maju, organisasi memerlukan lebih banyak pekerja intelektual, dan pada saat sama terjadi pula pengambilalihan pekerjaan manual oleh mesin-mesin berbasis komputer.
Lalu ada fenomena kekecewaan dan frustrasi pekerja intelektual ketika mereka diminta bekerja dalam organisasi yang tidak memberikan peluang perluasan intelektual dan kebebasan berinisiatif. Sekelompok ilmuwan di Inggris pada akhir Perang Dunia II mulai memikirkan disain organisasi yang berdasarkan prinsip sederhana saja: menggabungkan penggunaan teknologi yang efektif dengan pemanfaatan tenaga manusia yang efektif pula. Sebelum Perang Dunia II, Eric Trist, seorang ilmuwan Scotlandia, mempelajari sebuah industri perajutan karung goni dan menyimpulkan bahwa sistem teknologi dan sistem sosial saling berpengaruh secara negatif terhadap satu sama lainnya. Dia inilah yang kemudian mengembangkan pendekatan baru dalam perancangan atau disain sistem kerja, yaitu pendekatan sosio-teknis. Bersama rekan-rekannya yang sepaham, Trist lalu membentuk Tavistock Institute of Human Relations di London dan menjadi pionir bagi pengembangan teori sosio-teknis yang pada awalnya hanya berurusan dengan psikologi tempat kerja. Ilmuwan dari berbagai disiplin, termasuk sosiolog dan antropolog, bergabung belakangan dan memberi warna baru pada pendekatan ini.
Setelah melalui berbagai proyek penelitian dalam berbagai bidang, termasuk dalam pertambangan dan industri tekstil, Tavistock Institute berhasil mengintegrasikan pandangan sosio-teknis dan memberikan empat kontribusi bagi perkembangan selanjutnya, yaitu: (1) konsep dasar tentang sistem sosio-teknis, (2) pandangan tentang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka, (3) prinsip-prinsip pilihan organisasional, yakni adanya kebutuhan untuk memadukan sistem sosial dan teknis dengan cara yang sebaik mungkin, (4) pengakuan terhadap nilai penting kelompok otonom di dalam organisasi, dan (5) perlunya pemahaman yang lebih baik tenang masalah-masalah yang ditimbulkan perasaan terasing (alienation) di kalangan pekerja.
Dalam konsep sosio-teknis, sebuah proses kerja tida dapat dilihat sebagai dua hal terpisah yang terdiri dari sistem teknis dan sistem sosial. Keduanya harus dilihat sebagai kesatuan. Jadi, Teori Sistem Sosio-Tteknis (socio-technical systems theory) merupakan cara memandang organisasi yang menekankan keterkaitan dimensi teknis dan dimensi sosial. Teori sistem sosio-teknis mengartikan sistem sebagai selain terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan, juga bersifat terbuka. Pengertian ‘terbuka’ di sini berkaitan dengan lingkungan organisasi.
Sebuah sistem yang terbuka dirancang sedemikian rupa agar dimensi teknis maupun sosialnya tidak hanya berkaitan satu sama lain, tetapi juga dengan lingkungan mereka. Teori sistem sosio-teknis menganggap bahwa setiap organisasi bertujuan menjamin pekerja dan teknologi mendukung sebuah proses kerja yang selaras dengan lingkungannya.
Cherns (1976) mengembangkan prinsip-prinsip disain organisasi yang mengoperasionalkan konsep-konsep dalam teori sistem sosio-teknis. Menurutnya prinsip ini dapat digunakan sebagai panduan saja (checklist), bukan sebagai cetakbiru (blueprint) untuk para ditaati dengan harga mati oleh para disainer. Lima prinsip terpenting di antaranya secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
- Kompatibilitas (compatibility): Proses perancangan organisasi harus sejalan dengan tujuannya. Jika memang tujuan dari sebuah organisasi dirancang untuk meningkatkan motivasi kerja, mampu beradaptasi dengan perubahan, dan memanfaatkan sumberdaya kreatif anggotanya, maka diperlukan organiasi yang partisipatif-konstruktif.
- Spesifikasi Kritis Minimal (Minimal Critical Specification): Spesifikasi atau persyaratan yang ketat harus terbatas pada hal-hal yang benar-benar diperlukan saja. Walaupun dalam disain memang harus ada kepastian tentang apa yang harus dilakukan, tidak terlalu perlu selalu memastikan bagaimana sebuah kegiatan akan dilaksanakan.
- Kriteria Sosio-Teknis (The Socio-Technical Criterion): Jika ada variasi atau perbedaan yang tidak dapat dihilangkan dalam suatu elemen organisasi, elemen tersebut harus dikendalikan sedekat mungkin agar menyerupai sifat aslinya.
- Mendukung Kesepakatan (Support Congruence): Harus ada disain sistem dukungan sosial, misalnya dalam bentuk insentif, untuk mempertahankan perilaku yang sesuai dengan apa yang disyaratkan atau diperukan oleh sebuah organisasi.
- Disain dan Nilai Kemanusiaan (Design and Human Values): Tujuan semua disain organisasi seharusnya adalah untuk menciptakan kerja yang berkualitas tinggi. Kualitas itu sendiri adalah persoalan subjektif, dan setiap orang selalu ingin bertanggungjawab, menyukai variasi, dan mengejar pertumbuhan.
Pada intinya, teori sistem tekno-sosial mengedepankan prinsip optimatisasi bersama (joint optimization) sehingga sebuah organisasi dapat secara optimum berunjuk kerja, dan ini hanya dapat dicapai jika dimensi sosial maupun teknisnya dirancang untuk saling melengkapi. Jika sebuah disain hanya mengoptimalkan dimensi teknis saja, atau dimensi sosial saja, maka yang terjadi justru pengurangan kemampuan keduanya dalam mendukung tujuan organisasi.
Dalam konteks disain sistem informasi, maka teori sistem sosio-teknis mendasari pendekatan perancangan yang memiliki tujuan yang berkaitan dengan kepuasan pengguna sistem, efisiensi dan kesuksesan sistem, dan manajemen perubahan yang efektif. Pada intinya, disain yang didasarkan pada teori sistem sosio-teknis menekankan pada upaya menerapkan teknologi baru tanpa melupakan isu-isu non-teknologis. Sebab itu, disain sosio-teknis sangat menaruh perhatian pada partisipasi semua pihak yang akan menggunakan atau mendapatkan manfaat dari sistem . Beberapa konsep yang kemudian berkembang melengkapi disain sosio-teknis adalah:
- Disain Partisipatoris (Participatory Design). Sebuah pendekatan untuk perancangan dan pengembangan sistem teknologi dan sosial yang menekankan perlunya keterlibatan pengguna dan stake-holder secara menyeluruh di seluruh tahap, termasuk dalam perencanaan awal, pengujian, dan penerapan. Dikenal juga dengan Scandinavian school of design karena diawali di negara itu pada tahun 60-an dan 70-an.
- Informatika Sosial (Social Informatics). Sebuah istilah payung yang membawahi sekumpulan riset yang mempelajari aspek sosial dari komputerisasi, termasuk dari sisi disain, penggunaan, dan konsekuensinya. Selain mengembangkan teori sosio-teknis, informatika sosial juga mengembangkan pandangan tentang masyarakat dan teknologi, serta bagaimana teknologi informasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi sosial.
- Rekayasa Kemanfaatan (Usability Engineering). Merupakan riset dan metode yang bertujuan memaksimalisasi efektivitas, efisiensi, dan kepuasan sekelompok pengguna sistem agar dapat mencapai tujuan mereka. Pendekatan rekayasa kemanfaatan ini mengutamakan kemampuan pengguna dan interaksi antara pengguna dan teknologi terutama di tingkatan antarmuka pengguna (user interface). Pendekatan ini memang lebih terfokus pada disain antarmuka dan efektifitasnya dalam mendukung tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh seorg pengguna sistem komputer.
Bacaan:
Cherns, A., (1976), “The Principles of sociotechnical design”, dalam Human Relations, Vol.2, No. 9, hal 783-792.
Mumford, E. (1999), “Routinisation, re-engineering, and socio-technical design : changing ideas on the organisation of work” dalam Rethinking Management Information Systems : an interdisciplinary perspective, ed. Currie, W. dan Galliers, B. Oxford : Oxford University Press, hal. 28 – 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar